Profil Ahli Gizi Lulusan Filsafat yang Kritik Tajam MBG di Rapat DPR

Table of content:
Ahli gizi komunitas, dr. Tan Shot Yen, memberikan kritik tajam terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diterapkan di Indonesia. Ia merasa heran karena menu yang disajikan dalam program tersebut tidak menggambarkan keberagaman sumber pangan lokal yang ada di tanah air.
Tan menyoroti fenomena menyedihkan di mana bahkan dari Lhoknga hingga Papua, anak-anak disuguhi makanan seperti burger dan spageti, bukan makanan tradisional yang lebih bergizi. “Saya ingin anak Papua bisa menikmati ikan kuah asam dan anak Sulawesi menikmati kapurung,” katanya dengan nada kecewa.
Burger, yang dikenal sebagai makanan dari Amerika Serikat, seharusnya bukanlah pilihan utama untuk program yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Alasan di balik pemilihan makanan tersebut sangat dipertanyakan mengingat ketersediaan sumber pangan lokal yang berlimpah.
Ketidakcocokan Menu dengan Kearifan Lokal
Pemilihan menu yang tidak sesuai dengan kearifan lokal ternyata menjadi salah satu masalah utama dalam implementasi MBG. Menurut dr. Tan, keberagaman kuliner Indonesia seharusnya dimanfaatkan untuk menciptakan menu yang lebih sehat dan mudah diakses.
“Kita punya banyak potensi, tapi kenapa harus memilih burger? Ini jelas tidak mencerminkan semangat kedaulatan pangan,” ujarnya. Dia menegaskan pentingnya memanfaatkan bahan baku lokal yang dapat meningkatkan nutrisi anak-anak di setiap daerah.
Selanjutnya, hingga dibawa dalam diskusi dengan pemerintah, dr. Tan menekankan bahwa pendekatan yang lebih lokal bisa membawa dampak signifikan. Penggunaan makanan tradisional adalah solusi dan langkah awal yang tepat untuk menyehatkan bangsa.
Pentingnya Kualitas Bahan Pangan dalam Program Gizi
Tidak hanya soal jenis makanan, dr. Tan juga mengingatkan pentingnya kualitas bahan pangan yang digunakan dalam program. Makanan yang diperoleh dari pusat mungkin terlihat baik, tetapi kualitas di daerah sering kali mengalami penurunan.
“Saya khawatir, isi burger tersebut tidak mencerminkan kualitas yang baik,” tambah Tan. Banyak makanan yang diubah sedemikian rupa di daerah hingga menghilangkan nilai gizi yang seharusnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan apakah bahan pangan tersebut telah melalui pengawasan yang ketat. Masyarakat di daerah mungkin akan mendapatkan makanan yang jauh dari harapan semakin membuat mereka kekurangan gizi.
Rasa dan Penampilan Makanan yang Meragukan
Lebih lanjut, dr. Tan mengungkapkan keprihatinannya atas rasa dan penampilan makanan dari program MBG. Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan sering kali menjadi pengalaman negatif bagi anak-anak yang menerima makanan ini.
“Rasa makanan tersebut bahkan membuat saya meragukan kualitasnya. Terkadang saya merasa bingung apakah itu benar-benar daging olahan,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa makanan yang seharusnya menyehatkan malah berisiko buruk bagi kesehatan anak.
Dengan adanya situasi ini, penting bagi pemerintah untuk lebih cermat dalam merencanakan dan mengeksekusi program gizi. Makanan harus tidak hanya baik dari segi penampilan, tetapi juga harus sehat dan bergizi sesuai dengan kebutuhan anak-anak di tanah air.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now