ChatGPT untuk Guru Hadir Janjikan Keamanan Data Siswa dan Gratis Hingga 2027
Table of content:
Studio Ghibli, bersama dengan sejumlah penerbit terkenal dari Jepang, kini menggugat OpenAI terkait penggunaan karya mereka tanpa izin. Tuduhan ini mencuat setelah peluncuran model video AI terbaru Sora 2, yang diduga menyalahgunakan materi dilindungi hak cipta untuk pelatihan.
Gugatan ini dilayangkan melalui organisasi yang dikenal sebagai The Content Overseas Distribution Association (CODA). CODA mewakili berbagai raksasa industri kreatif Jepang seperti Bandai Namco, Square Enix, Aniplex, Kadokawa, dan Shueisha dalam menghadapi isu ini.
“Sebagian besar hasil video dari Sora 2 terlihat sangat mirip dengan karya atau gambar Jepang yang dilindungi hak cipta,” ungkap CODA. Mereka menambahkan bahwa penyalinan karya tanpa izin bisa dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak cipta.
Melihat Kontroversi yang Muncul dari Teknologi AI
Dalam pernyataannya, CODA menekankan bahwa penggunaan karya yang dilindungi hak cipta tanpa izin akan berakibat pada dampak negatif terhadap industri kreatif. Kontroversi ini terjadi di tengah booming teknologi AI yang semakin berkembang pesat. Dengan semakin banyaknya aplikasi yang menggunakan teknologi ini, penting untuk memastikan bahwa hak cipta tidak diabaikan.
Reaksi keras ini diakibatkan oleh perilisan Sora 2 pada 30 September, yang mengeksplorasi gaya visual khas Jepang. Hasil karya yang dihasilkan pun mampu menarik perhatian, meskipun menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan pencipta dan pemilik hak cipta. Munculnya tren kerja sama antara teknologi dan seni kini sedang diuji di tengah tantangan hukum ini.
OpenAI, sesuai dengan pernyataan sebelumnya, berupaya memperbaiki kebijakan akses bagi pemilik hak cipta. Namun, respons ini dinilai oleh CODA belum cukup jauh untuk menghentikan pelanggaran yang ada. Di satu sisi, teknologi AI menawarkan peluang baru bagi kreativitas, tetapi di sisi lain harus ada perlindungan yang memadai untuk karya yang ada.
Reaksi Pemerintah dan Komunitas Kreatif di Jepang
Pemerintah Jepang pun turut memberi respons terhadap kontroversi ini. Mereka menegaskan perlunya regulasi yang lebih ketat untuk menjaga hak cipta dalam era digital yang berkembang cepat. Dukungan dari berbagai komunitas kreatif menjadikan isu ini semakin mendesak untuk dibahas secara serius.
Komunitas kreatif di Jepang merasa gelisah mengingat dampak yang ditimbulkan oleh teknologi AI terhadap industri seni. Banyak yang khawatir bahwa jika peraturan tidak diperketat, banyak karya orisinal yang dapat dengan mudah diambil dan dijadikan bahan baku bagi produk-produk AI. Ini menjadi tantangan besar yang perlu dihadapi saat ini.
Dengan keluhan yang diajukan oleh CODA, harapan akan terbentuknya dialog antara inovator teknologi dan pemilik hak cipta menjadi lebih realistis. Usaha ini diharapkan dapat menghasilkan solusi yang saling menguntungkan tanpa mengorbankan hak siapapun.
Langkah-Langkah yang Diharapkan dari OpenAI dan CODA
Dari tuntutan hukum yang diajukan, CODA meminta dua hal mendasar kepada OpenAI untuk menghindari pelanggaran lebih lanjut. Pertama, mereka menuntut agar karya-karya yang dimiliki anggotanya tidak digunakan untuk pelatihan mesin tanpa izin, yang menjadi inti dari masalah ini. Ini menunjukkan betapa vitalnya kontrol atas karya masing-masing.
Kedua, CODA menginginkan respons resmi dari OpenAI mengenai klaim yang ada terkait pelanggaran hukum. Transparansi dan kerja sama menjadi kata kunci dalam menghadapi situasi ini, agar semua pihak dapat menemukan jalan tengah yang baik.
“Kemajuan teknologi AI tidak boleh mengorbankan hak cipta. Kami berharap OpenAI mau bekerja sama untuk membangun kerangka adil bagi kreator,” tutup CODA, menyerukan kepada semua pihak yang terlibat untuk terlibat dalam diskusi konstruktif.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now







